Tampilkan postingan dengan label EKONOMI SYARIAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EKONOMI SYARIAH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Desember 2015

PERBEDAAN EKONOMI SYARI'AH DAN EKONOMI KONVENSIONAL

Sebelum kita membahas mengenai perbedaan antara ekonomi islam dan konvensional, perlulah kita mengetahui hakikat ekonomi itu sendiri. Menurut para ahli ekonomi umum, ekonomi didefinisikan sebagai pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia baik individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas. Menurut pakar ekonomi yang pernah meraih Nobel dibidang ekonomi Prof. Paul A. Samuelson, ekonomi didefinisikan sebagai studi mengenai individu dan/atau masyarakat dalam mengambil keputusan dengan atau tanpa penggunaan uang yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa dengan sumber daya yang terbatas untuk dikonsumsi baik masa sekarang maupun yang akan datang.

Berdasarkan definisi diatas, kita dapat mengambil esensi bahwasanya ekonomi sangat erat kaitannya dengan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ada satu hal yang menarik yaitu mengenai sumber daya yang terbatas. Perlu kita ketahui bahwasanya yang menjadi tidak terbatas bukanlah kebutuhan manusia melainkan keinginan manusia. Oleh karena itu untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas itu diperlukan alat pemuas kebutuhan. Alat pemuas kebutuhan dalam hal ini adalah sumber daya, dalam Islam tidaklah mengenal sumber daya yang terbatas karena  didalam Al-qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwasanya Allah swt. telah menciptakan sesuatu dengan kadar yang sempurna. Berkaitan dengan keinginan yang tidak terbatas, Islam mengajarkan kepada kita bahwasanya prinsip konsumsi dalam Islam salah satunya yaitu dilarang berbuat Israf (berlebih-lebihan). Dalam teori ekonomi itu sendiri pun menyatakan bahwasanya kepuasan sesorang dalam mengonsumsi sesuatu semakin lama semakin menurun sampai nantinya berada dititik 0. Oleh sebab itu, hendaknya yang perlu digarisbawahi yang perlu diatur adalah perilaku manusia itu sendiri.
Setelah mengetahui pengertian ekonomi secara umum, yang menjadi pertanyaan kita berikutnya adalah apa itu ekonomi Islam??. Ekonomi Islam didefinisikan sebagai studi yang mempelajari ikhtiar manusia dalam mengalokasian dan mengelola sumber-sunber daya untuk mencapai ‘falah’ berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Al-qur’an dan As-sunnah. Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa hal yang menjadi kesamaan dengan definisi ekonomi umum yakni ekonomi berkaitan dengan studi atau ilmu yang membahas tentang upaya manusia dalam mengelola sumber daya yang ada. Yang menjadi perbedaan adalah apabila dalam ekonomi umum itu tidak ada yang dijadikan pedoman dalam menjalankan kegiatan ekonomi sedangkan dalam ekonomi itu memiliki aturan tersendiri yang dapat dijadikan pedoman. Mungkin inilah yang menjadi dasar awal yang membedakan antara ekonomi konvensional yang menganut ekonomi umum tetapi memiliki paradigma sendiri dengan ekonomi Islam.

Ekonomi islam atau syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral.
  
Saat ini kita membagi sistem ekonomi konvensional menjadi 2 jenis yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara jelas ditandai oleh berkuasanya uang atau modal yang dimiliki seseorang sedangkan sosialisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara jelas ditandai dengan berkuasanya pemerintah dalam kegiatan ekonomi yang menghapus penguasaan faktor-faktor produksi milik pribadi. Adapun perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme dengan sistem ekonomi islam dapat diterangkan dengan tabel dibawah ini :
Ekonomi Islam
Ekonomi Kapitalis
Bersumber dari Al-qur’an, As-sunnah, dan ijtihad
Bersumber dari pikiran dan pengalaman manusia
Berpandangan dunia holistik
Berpandangan dunia sekuler
Kepemilikan individu terhadap uang/modal bersifat nisbi
Kepemilikan individu terhadap modal/uang bersifat mutlak
Mekanisme pasar bekerja menurut maslahat
Mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri
Kompetisi usaha dikontrol oleh syariat
Kompetisi usaha bersifat bebas dan melahirkan monopoli
Kesejahteraan bersifat jasmani, rohani, dan akal
Kesejahteraan bersifat jasadiah
Motif mencari keuntungan diakui lewat cara-cara yang halal
Motif mencari keuntungan diakui tanpa ada batasan yang berlaku
Pemerintah aktif sebagai pengawas, pengontrol, dan wasit yang adil dalam kegiatan ekonomi
Pemerintah sebagai penonton pasif yang netral dalam kegiatan ekonomi
Pemberlakuan distribusi pendapatan
Tidak dikenal distribusi pendapatan secara merata
Ekonomi Islam
Ekonomi Sosialis
Bersumber dari Al-qur’an, As-sunnah, dan ijtihad
Bersumber dari hasil pikiran manusia filsafat dan pengalaman
Berpandangan dunia holistik
Berpandangan dunia sekuler ekstrim atau atheis
Kepemilikan individu terhadap uang/modal bersifat nisbi
Membatasi bahkan menghapuskan kepemilikan individu atas modal
Mekanisme pasar bekerja menurut maslahat
Perekonomian dijalankan lewat perencanaan pusat oleh negara
Kompetisi usaha dikontrol oleh syariat
Tidak berlaku mekanisme harga melainkan disesuaikan dengan kegunaan barang bagi masyarakat
Kesejahteraan bersifat jasmani, rohani, dan akal
Negara berperan sebagai pemilik, pengawas, dan penguasa utama perekonomian
Motif mencari keuntungan diakui lewat cara-cara yang halal
Tidak mengakui motif mencari keuntungan
Pemerintah aktif sebagai pengawas, pengontrol, dan wasit yang adil dalam kegiatan ekonomi
Pemerintah mengambil alih semua kegiatan ekonomi
Pemberlakuan distribusi pendapatan
Menyamakan penghasilan dan pendapatan individu
 
Berdasarkan tabel diatas, kita dapat melihat perbedaan yang jelas antara ekonomi konvensional adalah sbb :
Ekonomi islam mempunyai pedoman/acuan dalam kegiatan ekonomi yang bersumber dari wahyu ilahi maupun pemikiran para mujtahid sedangkan ekonomi konvensional didasarkan kepada pemikir yang didasarkan kepada paradigma pribadi mereka masing-masing sesuai dengan keinginannya, dalam ekonomi konvensional menilai bahwa agama termasuk hukum syariah tidak ada hubungannya dengan kegiatan ekonomi.

Dalam ekonomi islam negara berperan sebagai wasit yang adil, maksudnya pada saat tertentu negara dapat melakukan intervensi dalam perekonomian dan adakalanya pun tidak diperbolehkan untuk ikut campur, contohnya pada saat harga-harga naik, apabila harga naik disebabkan karena ada oknum yang melakukan rekayasa pasar maka pemerintah wajib melakukan intervensi sedangkan apabila harga naik karena alamiah maka pemerintah tidak boleh ikut campur dalam menetapkan harga, seperti yang diriwayatkan dalam hadits Nabi terkait kenaikan harga. 

Dalam ekonomi konvensional, kapitalis tidak mengakui peran pemerintah dalam perekonomian, dalam sosialis negara berperan absolut dalam ekonomi sehingga tidak terdapat keseimbangan antara kedua sistem tersebut.

Dalam ekonomi islam mengakui motif mencari keuntungan tetapi dengan cara-cara yang halal, dalam ekonomi kapitalis mengakui motif mencari keuntungan tetapi tidak ada batasan tertentu sehingga sangat bebas sesuai yang dilandasi dengan syahwat spekulasi dan spirit rakus para pelaku ekonomi, dalam ekonomi kapitalis tidak mengakui motif mencari  keuntungan sama sekali sehingga keduanya tidak dapat berlaku adil dalam ekonomi.


 TUJUAN EKONOMI ISLAM 

Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.

Pandangan ekonomi Islam tentang kesejahteraan tentu saja didasarkan atas keseluruhan ajaran Islam tentang kehdiupan ini. Konsep kesejahteraan ini sangatlah berbeda dengan konsep dalam ekonomi konvensional, sebab ia merupakan konsep yang holistic. Secara singkat kesejahteraan yang diinginkan oleh ajaran Islam adalah:

  1. Kesejahteraan holistic dan seimbang, yaitu mencakup dimensi material maupun spiritual serta mencakup individu maupun soisal. Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan haruslah seimbang di antara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individual, tetapi tentu saja ia tidak dapat terlepas dari lingkungan social. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan di antara dirinya sendiri dengan lingkungan sosialnya.
  2. Kesejahteraan di dunia maupun di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja tetapi juga di alam akhirat (the hereafter). Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai makan kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang dalam segala hal lebih bernilai (valuable).
Istilah umum yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan hidup sejahtera secara material-spiritual pada kehidupan di dunia maupun akhirat dalam bingkai ajaran Islam adalah falah. Dalam pengertian sederhana falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistic.

Sebenarnya, tiddaklah mudah untuk mencari padanan kata falah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebab ia berasal dari akar kata bahasa Arab flh. Dalam bentuk verbalnya falah, yuflihu berarti berkembang pesat, menjadi bahagia, memperoleh keberuntungan atau kesuksesan atau menjadi sukses. Di dalam al-Qur'an kata falah terdapat pada 40 tenpat. Falah menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Untuk kehidupan dunia, falah mencqaup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup (survival/baqa'), kebebasan darikemiskinan (freedom from want/ghana) serta kekuatan dan kehormatan (power and honour/'izz). Semenatra itu untuk kehdiupan akhirat, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi (eternal survival/baqa' bila fana'), kesejahteraan abadi (eternal prosperity/ghana bila faqr), kemuliaan abadi (everlasting glory/'izz bila dhull) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge free of all ignorance/'ilm bila jahl).

Menurut al-Qur'an, tujuan kehidupan manusia pada akhirnya adalah falah di akhirat, sedangkan falah di dunia hanya merupakan tujuan antara (yaitu sarana untuk mencapai falah akhirat). Dengan kata lain, falah di dunia merupakan intermediate goal (tujuan antara), sedangkan akhirat merupakan ultimate goal (tujuan akhir). Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi, dan memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Hal ini tidak berarti bahwa kehidupan di dunia tidak penting atau boleh diabaikan. Bahkan, kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapai tujuan akhirat. Jika ajaran Islam diterapkan secaa menyeluruh dan sungguh-sungguh, maka niscaya akan tercapai falah di dunia dan di akhirat sekaligus.

Menurut Muhammad Umar Chapra, salah seorang ekonom muslim, tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam.
  1. Kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas, norma-norma moral islami. Agama Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati rizki dsari Allah namun tidak bleh berlebihan dalam pola konsumsi. Di samping itu Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk bekerja keras mencari rizki setelah melakukan shalat Jum'at. (QS. Al-Jumu'ah:10). "apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung".
    Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia seperti bertani, berdagang dan usaha-usaha lainnya dianggap sebagai ibadah, hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik harus menjadi salah satu tujuan masyarakat muslim.
  2. Tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan rasa permusuhan, peperangan dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih banyak dijumpai pada saat ini. "Dengan adanya rasa persaudaraan sesama umat manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama. (QS. AL-Maidah :2) "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".
  3. Distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan, oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan diruntuhkan rasa persaudaraan antarsesama manusia yang ingin dibina oleh Islam.
  4. Tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk melepaskan manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS. AL-A'raf: 157). "(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung".

Rabu, 16 Desember 2015

HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM


1 . PENGERTIAN HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.

Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. 

2  . HUKUM HUTAN PIUTANG

Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini.
Dalam firman Allah swt yang artinya :

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”

Nabi saw juga bersabda:

“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)

 3 . PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG

Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw bersabda: 

“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).

Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda: 
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Di sisi lain allah memperingati aturan yang tegas dalam utang piutang yang merupakan bagian dari transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). 
Ketegasan aturan ekonomi tersebut tercemin dalam firman Allah Q.S an-nissa ayat 29 yang artinya :

Wahai orang orang yang beriman,janganlah kamu memakan harta yang beredar di antaramu secara bathil, kecuali terjadi transaksi suka sama suka. Jangan pula kamu saling membunuh. Allah sangat sayang kepadamu semuanya.

Salah satu transaksi yang termasuk bathil adalah pengambilan ribba. Riba berdasarkan penjelasan para mufasir, baik dalam definisi maupun gambaran praktis di mass jahilliyah, menurut Qardhawi (2001: 76-78)
 Maka riba yang di maksud dapat di definisikan sebagai berikut ;
a.       Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam dan hutang piutang
b.      Ada tambahan dari pokok pinjaman dalam tahap pelunasan
c.       Tambahan dimaksud, dimaksudkan terlebih dahulu dan di perhitungkan sesuai dengan limit waktu peminjaman

Dalam perspektif ekonomi, (Razi, 1938 : 87-88) mengemukakan ulasan yang cukup baik dalam mengungkap sebab dilarangnya riba. Sebab-sebab tersebut antara lain :
1.      Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa adaimbalan. Boleh saja orang berdalih bahwa keuntungan akan diperoleh seandainya harta yang dipinjamkan pada orang lain itu dijadikan modal dagang. Tetapi keuntungan yang akan diperoleh pihak peminjam itu sifatnya belum pasti. Sebaliknya, pemungutan“tambahan” oleh pemberi pinjaman itu adalah hal yang pasti, tanpa resiko.
2.      Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki karena ia dengan mudahmembiayai hidupnya dengan bunga, hal ini akan mengakibatkan distorsi dalammasyarakat.
3.      Bila diperbolehkan, maka masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya, tidak segan meminjam uang walaupun sangat tinggi bunganya. Hal ini akan mengelmiinir Sifat tolong menolong, saling menghormati dan perasaan berhutang budi.
4.      Dengan riba, pemilik modal akan semakin kaya, sementara pihak peminjam akan semakinmiskin. Jadi riba bisa menjadi media bagi orang kaya untuk menindas orang miskin.
5.      Larangan riba sudah ditetapkan oleh nas, dimana tidak harus seluruh rahasia tuntutannyadiketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kendati orang tidak mengetahui persissegi pelarangannya

4. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHALEH

a.     Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
b.    Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
c.    Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
d.    Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Barang siapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allahakan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia danakhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di duniadan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong  saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) .



5. ADAB HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
a.       Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Firman Allah swt :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
b.      Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.
c.       Melunasi utang dengan cara yang baik
d.      Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
e.       Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
f.       Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
g.      Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
h.      Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
i.        Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
j.        Bersegera melunasi utang
k.      Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.